Loading

30 Maret, 2011

Cake Singkong

Setelah memendam sekian lama ingin membuat cake yang gluten free, akhirnya tercapai juga cita-citaku! Kenapa harus gluten free? Nggak harus, tapi bagi sebagian orang; HARUS. Seorang teman yang memiliki anak Autis mau nggak mau harus mencari makanan yang gluten free, karena seorang pengidap Autis nggak boleh makan makanan yang mengandung gluten. Terigu merupakan bahan makanan yang mengandung gluten. Apakah dengan mengganti terigu sudah berarti aman bagi anak autis? Sayangnya belum. Mereka juga harus berhati-hati terhadap gula, dan

sebagian dari mereka juga mengidap alergi terhadap bahan makanan lain seperti telur.
Bagaimana dengan anak yang nggak mengidap autis? Menurut Pak Wied Harry, pakar gizi yang suka ada di tv itu lho, gluten yang nggak tercerna tubuh bisa menggangu daya imun anak. Jadi sebaiknya jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan berbahan utama yang mengandung gluten. Begitulah kalau aku nggak salah. Kalau salah tolong diperbaiki, ya.

Anyway, dari dulu sebetulnya aku suka sama kue singkong yang dijual tetangga di dekat rumah Mamahku. Kuenya aku nggak tahu namanya, bentuknya seperti cake kecil, berbentuk bundar seperti pie, dengan warna kuning muda dan katanya dari singkong. Hmm.. Biasanya mamah memesan kue itu kalau sedang ada hajatan. Kalau nggak ada acara? Ya, nggak mesan. Makanya sekali memesan pasti jumlahnya nggak sedikit. Jadi nggak mungkin juga aku memesan kue itu cuma 2-3 potong.
Mamah sebetulnya punya buku resep tanpa gambar yang ada resep cake singkongnya, tapi namanya lain, entah apa, aku lupa. Kue itu sepertinya mirip dengan kue yang kumaksud. Lho, katanya tanpa gambar, kok tahu itu kue yang dimaksud? Soalnya di sampul buku resep tersebut ada foto kecil kue-kue yang mirip dengan si kue singkong tersebut. Tapi aku nggak pernah berani membuatnya.
Kadang Allah suka memaksa juga ya, ha ha ha! Sepertinya Dia tahu apa mauku, tapi Dia tahu juga aku suka malas, maka rasanya koran Kompas hari Minggu lalu agak 'memaksaku' untuk benar-benar mencoba membuatnya. Resep kue tersebut 'muncul lagi' di halaman koran tersebut dengan nama Cake Lapis Singkong. Cake ini berlapis dengan tiga warna. Diwarnai dengan pewarna sintetis tentunya.
Aku kan sudah berkomit untuk meniadakan pewarna sintetis sebisa mungkin dalam makanan-makanan yang aku buat. Maka, terbitlah ide pewarna alami: SUJI.
Sayangnya, aku nggak teliti membaca resep. Dalam daftar bahan yang dibutuhkan nggak tertera adanya kelapa parut. Baru saja aku mau membuatnya, baru aku sadar kalau di dalam keterangan cara membuatnya tertulis "campurkan kelapa parut..". Ha?? Aduh... kenapa nggak lengkap gini sih, daftar bahannya?? Alhasil, acara membuat kue diundur sehari demi membeli si kelapa parut. Maklum, waktu yang tersedia untuk membuat kue sangat pendek: cuma sebatas waktu tidur siang anak-anak. Begitu mereka bangun, maka berakhirlah acara masak-memasaknya :D
Akhirnya hari berikutnya jadi juga aku membuat kue ini. Takaran kelapa parutnya hanya kukira-kira sendiri saja. Takaran lain pun aku buat jadi ukuran cup. Hasilnya wangi daun pandan tercium semerbak dan warna hijaunya cerah. Bagian atasnya pun kutaburi almond panggang. Tadinya sih, maunya ditaburi dengan kenari panggang (kenari pada kue mengingatkanku pada resep-resep kue jaman dulu) tapi berhubung kenarinya belum sempat dipanggang, ya seadanya aja deh. Sayangnya kue ini bagian bawahnya agak basah. Sebetulnya bukan salah si resep. Aku duga karena aku nggak cukup kering memeras singkongnya. Lha wong aku cuma memeras pakai tangan terus ditiriskan di peniris aja kok. Pemalas memang. Next time, gunakan serbet deh untuk memeras singkongnya sampai tiris-ris-ris!
Jadi, saudara-saudara, ada dua pelajaran yang perlu dicermati dalam kesalahan yang kubuat kali ini. So learn from my mistake and DON'T DO IT! What you have to do is:
1. READ THOUROUGHLY A RECIPE BEFORE YOU DECIDE TO MAKE IT. Terutama pada resep yang sumbernya nggak mengkhususkan diri pada bidang masak-memasak.
2. SQUEEEEZE HARD TIL DRY. Singkongnya jangan cuma ditiriskan ya... :p

Nah, setelah menguingat-ingat kesalahanku -hiks- mari kita lihat resepnya. Selamat mencoba!

Cake baru dikeluarkan dari kukusan


Cake Singkong
Bahan:
1/2 kg singkong, parut halus
4 btr telur
1/2 cup kelapa parut
100 gr margarin, lelehkan
3/4 cup gula pasir
1/2 sdt garam
2 lbr daun pandan
4 lbr daun suji
1/4 cup air
2-3 genggam almond atau kenari panggang, remukkan kasar

Cara membuat:
- Blender halus daun pandan, daun suji dan air
- Saring daun yang sudah diblender dan campurkan airnya ke dalam parutan singkong, lalu aduk rata.
- Peras parutan singkong hingga tiris
- Campurkan kelapa dan garam ke dalam singkong dan aduk rata
- Siapkan dandang/kukusan di atas kompor dengan api besar
- Oles dasar loyang 20x20x5cm dengan sedikit margarin, lalu lapisi dg kertas roti atau plastik tahan panas.
- Kocok dengan kecepatan tinggi telur dan gula hingga mengembang tinggi, putih dan kental. Matikan mixer.
- Masukkan campuran singkong ke dalam telur perlahan, aduk balik dengan spatula hingga rata.
- Masukkan margarin cair sedikit-sedikit sambil diadukbalik hingga rata.
- Tuang ke loyang, ratakan. Taburkan dengan almond/kenari panggang.
- Kukus kue 30 menit, lalu tes tusuk. Bila kurang matang bisa ditambah waktu pengukusannya.
- Angkat dan biarkan dingin. Potong-potong.
Dari : Detik.com
Selengkapnya.....

Jangan Buru-buru Masukkan Anak Autis ke Sekolah

Hampir semua orangtua menginginkan anaknya bisa baca tulis dan memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Tapi bagi anak autis, jangan buru-buru memasukkan ke sekolah karena yang terpenting adalah melatih anak autis menjadi mandiri.

"Jangan terpaku pada baca tulis atau akademik, yang terpenting untuk anak autis adalah bisa mandiri," jelas

Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI), dalam acara Media Briefing Peluncuran Komik Autisme Pertama di Indonesia di Rumah MPATI, Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Menurut Gayatri, banyak orangtua yang kewalahan mengurusi anaknya yang autis kemudian buru-buru menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah. Padahal hal itu tidak dapat membuat anak autis menjadi mandiri, tapi justru membuat guru atau teman-temannya kewalahan.

Setidaknya, lanjut Gayatri, bila ingin memasukkan anak ke sekolah ada beberapa kesiapan yang harus dimiliki anak autis, yaitu:

1. Patuh
2. Mampu memperkenalkan nama di depan kelas
3. Berbaris
4. Duduk bersila di lantai
5. Makan dengan bantuan yang minimal
6. Minum dengan botol air minum
7. Ke toilet
8. Berjalan bergandengan dengan anak lain
9. Mampu minta tolong guru bila dalam kesulitan


Menurut Gayatri, suksesnya penanganan anak autis sangat bergantung dari tiga pilar utama penanganan autisme, yaitu diagnosa tepat, pendidikan tepat dan dukungan kuat.

"Jangan melulu pikirkan akademis tapi tentukan bakat anak. Jika anak sudah bisa mandiri dan dilatih bakatnya, maka kemungkinan bakat itu bisa menjadi peluang buat dia untuk mencari nafkah," jelas Gayatri yang juga ibu dari anak autis.

Gayatri juga menjelaskan bahwa orangtua tidak perlu buru-buru menjalan terapi autisme yang mahal-mahal, karena kunci utama untuk terapi autisme adalah membuat anak mampu berkomunikasi.

"Boleh terapi yang mahal seperti terapi lumba-lumba atau apalah itu, tapi setelah tiga terapi dasar autisme sudah bisa dijalani. Terapi seperti lumba-lumba itu adalah terapi tambahan dan berfungsi untuk membuat anak relaksasi bukan menjadi mandiri," jelas Gayatri.

Tiga terapi dasar autisme yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1. Terapi perilaku (Applied Behavioral Analysis), mengajarkan anak agar patuh.
2. Terapi okupasi, untuk melatih kemampuan motorik halus atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan, misalnya menulis, mengancing baju, memegang sendok, dll.
3. Terapi wicara


"Jika ketiga terapi ini sudah bisa dipenuhi anak, maka boleh deh mencoba terapi relaksasi yang agak mahal seperti terapi lumba-lumba. Tapi kalau anak belum bisa bicara, masa iya mau diterapi lumba-lumba, memangnya lumba-lumba bisa mengajak anak bicara. Terapi lumba-lumba berfungsi untuk membuat anak lebih rileks. Bila orangtua tidak punya banyak biaya, maka cukup lakukan tiga terapi dasar itu yang bisa juga dilakukan orangtuanya sendiri tanpa banyak mengeluarkan biaya," jelas Gayatri.

Gayatri menjelaskan memberikan terapi yang tepat ini termasuk dalam pilar pendidikan yang tepat. Jika anak sudah diajarkan tiga terapi dasar ini, maka anak bisa lebih siap dimasukkan ke sekolah.
Dari : Detik.com
Selengkapnya.....

Jika 2 dari 7 Pertanyaan Ini Dijawab Tidak = Anak Berisiko Autis

Banyak orangtua yang tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa anaknya menyandang autis. Padahal bila autis dideteksi secara dini, maka bisa membuat peluang anak autis untuk mandiri lebih besar. Setidaknya ada 7 ciri utama autisme.

Diperkirakan sekitar 67

juta orang di dunia menyandang autis. Autisme diyakini sebagai gangguan perkembangan serius yang meningkat paling pesat di dunia.

Hingga kini, tidak diketahui secara pasti penyebab
penyakit tersebut dan belum ada obat yang dapat menyembuhkannya. Namun, deteksi dan penanganan dini akan membantu perbaikan perkembangan anak penyandang autis.

"Dari studi lebih dari 20 tahun yang dilakukan Robins D dkk dalam 'The Modified Checklist for Autism in Toodlers, Journal of Autism and Development Disorders' ada 7 checklist yang bisa digunakan untuk mendeteksi autis secara dini," jelas Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI), dalam acara Media Briefing Peluncuran Komik Autisme Pertama di Indonesia di Rumah MPATI, Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Gayatri menyampaikan 7 ciri utama untuk mendeteksi anak autisme, yaitu:

1. Apakah anak Anda memiliki rasa tertarik pada anak-anak lain?
2. Apakah anak Anda pernah menggunakan telunjuk untuk menunjukkan rasa tertariknya pada sesuatu?
3. Apakah anak Anda menatap mata Anda lebih dari 1 atau 2 detik?
4. Apakah anak Anda meniru Anda? Misalnya, bila Anda membuat raut wajah tertentu, apakah anak Anda menirunya?
5. Apakah anak Anda memberi reaksi bila namanya dipanggil?
6. Bila Anda menunjuk pada sebuah mainan di sisi lain ruangan, apakah anak Anda melihat pada mainan tersebut?
7. Apakah anak Anda pernah bermain 'sandiwara' misalnya berpura-pura berbicara di telepon atau berpura-pura menyuapi boneka?


Seorang anak berpeluang menyandang autis jika minimal 2 dari pertanyaaan diatas dijawab tidak.

"Tidak semua anak yang berpeluang menyandang autis memenuhi kriteria autis. 7 ciri utama ini digunakan agar orangtua dan guru waspada untuk segera memeriksa dan mendiagnosa anak yang berpeluang autis kepada dokter terdekat," jelas Gayatri.

Menurutnya, Modified Checklist for Autism in Toodlers bisa digunakan untuk mendeteksi gejala autis untuk anak usia 18 bulan atau sebelum 3 tahun.

"Karena gejala autisme biasanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun," lanjut Gayatri yang juga seorang ibu dari remaja penyandang autis.

Menurutnya, bila orangtua sudah bisa mendeteksi gejala autisme secara dini maka mereka akan memiliki peluang yang semakin besar untuk membuat anaknya menjadi mandiri.

"Yang penting membuat anak mandiri dan jauhkan mitos-mitos yang salah tentang autis. Punya anak autis memang berat tapi bukan akhir dari segalanya. Setipis apapun, harapan itu pasti ada," tegas Gayatri.
Dari :detik.com
Selengkapnya.....